Wednesday, May 19, 2010

CERPENKU "bingkai biru"

Brakk!!!
Seseorang menutup pintu masuk utama rumah dengan keras. Terdengar langkahnya yang memburu., tak peduli suasana apapun saat itu.
“Pulang malem terus…!! Nggak pernah ngasih kabar! Ngga pernah ngurus rumah! Wanita macam apa kamu?! Nggak malu sama anak perempuanmu satu itu?!!!”
Tak.. tak.. tak tempo langkah kakinya yang memburu sama sekali tak ubah, hingga sampai di ujung tangga, dan masuk ke ruangan yang hanya berjarak beberapa meter dari tempatku duduk saat ini. Masih berlanjut ternyata makian dari bawah lantai tempatku berpijak. Terdengar jelas, bahkan sangat jelas. Kurang lebih seperti ini suasana setiap malamku. Dan entah sudah berapa kali nafas panjang ku hirup untuk sekedar melegakan kalbu. Aku benar-benar merindukan dua tahun yang lalu. Keluargaku yang utuh, seperti foto-foto yang didominasi bingkai-bingkai berwarna biru di depan mataku ini. Semua ini berjajar penuh arti.
11:30 p.m.
Layar jam di meja kamarku memunculkan angka itu. Aku masih saja bermain ke dalam imajiku menuju dua tahun yang lalu, saat aku masih merasakam hangatnya pelukan Ayah, Bunda, dan kakak bungsuku. Mas Heru… ingin rasanya aku berteriak, menangis, tapi ternyata hal ini sudah menjadi perasaan biasa yang aku sudah terbiasa. Bukan kebal, mungkin airmata ini sudah habis untuk mengungkapkan semuanya. Rinduku bercampur ingin memaki Mas Heru yang sudah dua tahun pula meninggalkanku sendirian. ‘Kau bilang sayang padaku, dari kecil kau berjanji akan selalu menjagaku, tapi kenapa kau malah meninggalkanku?!!’. Hati kecilku memprotes kata-kata yang pernah diucap Mas Heru. Satu bingkai biru laut dengan lumba-lumba kecil di sudut bingkai perlahan ku tatap. “Twinku..sedang apa kamu?” pertanyaan kecil berbisik. Wajah mas Heru yang tampan dengan mata, hidung, dan bibir yang dicopy paste di mukaku, tak heran jika setiap orang yang beru mengenal kami tentu sudah bisa menebak kalau kita adalah saudara sedarah. Bahkan teman-teman mas Heru menyebut aku ini kembarannya. Usiaku yang hanya terpaut satu tahun membuatku tak begitu susah untuk akrab dengan kakak semata wayangku itu. ‘Twin’ panggilan yang bisa 20 kali terucap setiap hari. Dialah cinta keduaku setelah Ibu, saat aku diganggu teman-teman lelaki ketika masih berseragam merah putih dia yang selalu melawan dan menjagaku. Sampai aku dewasa. Aku benar-benar bersyukur dikirimkan malaikat penjaga seperti kakakku.
2 Agustus 2007, tepat dua tahun yang lalu, Mas Heru di kamarku ini menemaniku menunggu pengumuman SPMB, hingga pukul 00.00 tiba, ia memasukkan alamat yang mencantumkan pengumuman tes nasional masuk Perguruan Tinggi Negeri itu. Mas Heru berharap aku yang memang di atas rata- rata kemampuan teman-temanku bias menyusulnya kuliah di PTN bergengsi di Kota kami.
RAYA AFRIANA ALVIN HIDAYAH
309221997
“ Bismillahirrahmanirrahiim..”
Tombol enter ia tekan dengan mantap setelah memasukkan nama dan nomor pesertaku. Aku yang dari tadi pagi hanya senam jantung masih saja tak ada hasrat untuk melihat pengumuman itu. Semua perasaan tegang, takut, panik bercampur seperti es doger di tubuhku. Satu detik, dua detik, tiga detik, empat detik, aku rasa masih loading, aku masi terbujur di tempat tidur empuk yang mendadak rasanya ini adalah tempat tidur paling keras yang pernah aku tiduri. Tak tergiur sedikitpun menengok ke meja komputer yang berada di sebelah meja tempat foto-fotoku. Enam detik, duapuluh tujuh detik, tigapuluh lima detik, seratusduapuluh tujuh detik, mas Heru sama sekali tak mengucap sepatah katapun. Aku masih ingat kalimat basmallah yang terakhir ia ucapkan. Setelah lima menit baru aku memiringkan tubuhku yang masih menggeletak di tempat tidur. Aku tak melihat mas Heru melototi layar komputer penuh stiker lagi. Ia malah asyik memandang foto-foto yang penuh dengan tampangnya dan wajah polosku. Aku masih bertanya-tanya, kenapa mas Heru diam? Apa dia ingin memberiku kejutan? Atau.. dia ingin aku melihatnya sendiri? Sebenarnya mas Heru ingin aku melihat pengumuman ini sendiri, tapi karena ia tahu tingkahku dari tadi pagi yang sama sekali tak ada niat untuk membuka pengumuman, akhirnya ia menemaniku seharian di kamar dengan browsing internet sesekali bermain ular tangga denganku hingga datangnya waktu pengumuman itu.
“Twin..” panggilku datar dan lirih. Hanya tengokan dan senyuman dari mas Heru yang bertafsir ganda. Aku yang sudah seperti kembaran kakakku yang sedang menjadi ketua HMJ di jurusan desain dan komunikasi visual tempat ia berkuliah sangat mengerti arti tatapannya itu. Dari kedua bola matanya aku sudah tau yang terjadi. Ya… aku tidak diterima di kedua pilihan IPAku. Yang artinya aku tak bisa menyusul kakakku untuk yang pertama kalinya. Dari TK, SD, SMP sampai SMA aku selalu satu sekolah dengan mas Heru.
“Aku bakal nyusul twin tahun depan ko..”
kataku berusaha tegar dan mengubah posisi ku menjadi duduk di atas tempat tidur. Saat itu juga mas Heru beranjak dan langsung memelukku.
“Kamu pasti bisa, twin.. berusaha lagi yah.”
Bukan semakin tegar, tapi pelukan twinku itu malah membuat air mata yang tertahan di tenggorokanpun keluar tanpa terkendali. Perasaan bersalah muncul bagai rekaman film di otakku. Perjuangan Ayah dan Bunda yang bekerja untukku. Dan aku tahu harapan mereka, mereka sangat menginginkan aku masuk di Kedokteran karena otakku yang kata orang adalah antonim dari mas Heru. Aku memang tak bisa memungkiri kekecewaanku, tapi aku masih mempunyai kesempatan tahun depan. Aku masih berprinsip aku hanya ingin berkuliah di Kedokteran negeri. Dalam hati ini berjanji ‘Twin, aku akan menyusulmu taun depan’
***
Kali ini mas Heru menjemputku terlambat. Aku sudah menunggu di teras tempat bimbingan belajar intensif khusus menghadapi SPMB. Selama 10 bulan ini, baru kali ini mas Heru terlambat menjemputku tanpa member kabar. Kalau dia tidak bisa menjemputku biasanya ia menyuruhku menghubungi Awan atau naik taksi. Tapi kali ini dia sama sekali tidak member kabar. Setengah kesal aku menggerutu sampai sebuah sms masuk sedikit mengalihkan konsentrasiku.
Pesan masuk Awanku “Raya sayang, lesnya uda kelar belum? Udah maem?’
Pesan itu langsung aku balas hanya dengan emot sedih
Reply  sending to Awanku
Selang 3 detik panggilan masuk dari Awan.
“Hallo”
“Kamu dimana sayang? Kenapa? Semua baik-baik aja kan?”
Pacarku yang lebih cerewet dari aku ini tampak khawatir.
“Aku masih di les-an, twin nggak jemput jemput ni.. aku udah kelamaan di sini.. Awan jemput aku yah..”
“Ya udah.. tunggu di situ yaa.. sepuluh menit lagi nyampe, sayang.”
“Iya makasih yaa.”
Tek. Pembicaraan kami ditutup. Awan itu mirip mas Heru, dia sergap setiap aku butuhkan. Bedanya, mas Heru lebih pendiam. Mas Heru juga yang mengenalkanku dengan Awan, dia teman sekelas mas Heru waktu SMA dan sekarang kuliah di Sekolah Tinggi Akuntansi yang terkenal. Kesibukannya kuliah membuat frekuensiku bertemu dengannya memang jarang. Itu juga yang menyebabkan mas Heru tak sepenuhnya melepaskan tanggungjawabnya menjagaku kepada Awan.
Benar, sepuluh menit berlalu, lirih suara motor Kawasaki Ninja yang kemudian semakin jelas, akupun menghampirinya. Senyum manis Awan menyambutku saat itu. Setidaknya mengobati kekesalanku yang menyerang kurang lebih 2 jam.
“Udah telfon Bunda belum?” tanyanya selagi memasangkan helm di kepalaku.
“Udah ko.. tapi ngga diangkat, telfon rumah juga sepi.”
“Yauda, ayo naik nanti keburu malem.”
Akupun naik di jok belakang. Gaya pacaran kami tak seperti remaja kebanyakan. Awan, penuda langka yang aku temukan di era sekarang ini. Pria berkulit hitam manis ini memperlakukanku benar-benar seperti seorang wanita. Tuturnya lembut, nggak neko-neko, perhatian, dan sama sekali tak pernah menyentuhku. Dia benar-benar menjaga kesucian dan kehormatanku. Ini pula yang membuat ayah melegalkan pacaran kami. Ayah menyukai Awan. Kata-kata Ayah selalu aku pegang. “Boleh pacaran, asal tahu bates-batesnya, perempuan juga harus jaga diri, ayah percaya sama kamu, Raya.”
Sepanjang perjalanan kita mengobrol tentang mas Heru, aku sendiri bingung, ada apa ini?. Sesampai di depan pagar aku melihat rumah mungilku sepi. Lampu belum ada yang menyala, hanya lampu taman depan yang otomatis nyala kala senja menjelang. Akhirnya, aku membuka gerbang perlahan. Awan masih sibuk memposisikan motornya yang pas, beberapa detik kemudian ia mengimbangi langkahku. Aku melirik ke arah garasi, mobil Fortuner Ayah belum ada. Ku lahat jam di tangan, jam 7 lewat. ‘Paling masih di bengkel atau di warung’ batinku. Ayhku seorang pengusaha bengkel dan warung makan yang cukup terkenal di kota kami. Kalau Ayah belum pulang, artinya Bunda juga belum. Selama ini Ayah yang selalu menjemput Bunda pulang dari kantor redaksi Koran ternama di kota kami pula. Ayahku, kebanggaanku, dia orang pertama yang membuatku bangga dalam hidupku. Ayah yang berasal dari keluarga kakek yang tidak bernama, dengan kerja kerasnya dan keuletannya membangun usaha sendiri yang baik, bahkan memuaskan. Apalagi melihatnya menyayangi Bunda, membuatkan susu coklat hangat setiap pagi, kadang membuaku berfikiran untuk mempunyai suami seperti Ayah kelak.
Aku berfikir lagi. Kemana Ayah dan Bunda? Hari ini memang malam minggu, tapi jarang sekali bahkan mungkin tidak pernah Ayah dan Bunda pergi keluar untuk sekedar makan. Mereka lebih sering menghabiskan waktu di rumah. Bunda yang jago masak, mahir dalam menciptakan menu-menu baru yang hasilnya menurutku lebih mantap dari cheff manapun, atau dari masakan-masakan tayangan kuliner di televisi membuat Ayah betah, dan mas Heru tentunya yang doyan banget makan.
Jegleg.
Ku buka pintu utama rumahku dengan pelan. Tidak terkunci, semakin heran. Gelap memang, perlahan aku menuju saklar. Baru empat langkah, lampu menyala dan…
“Happy birthday to you.. happy birthday to you.. happy birthday…” bunda membawa kue ulang tahun dengan lilin angka 17 bersama Ayah dan mas Heru menyanyikan lagu. Satu lagi manusia di sebelah mas Heru, Nana. Pacar mas Heru yang tak lain adalah sahabatku dari SMA. Lengkap sudah kebahagiaanku. Nampaknya mas Heru sudah hafal kebodohanku, selalu lupa hari ulang tahunku.
“Happy birthday yaa.. sayang.” Kecupan hangat dari Bunda mendarat di keningku.
“Selamat ulangtaun, Rayanya Ayah.” Ayah tak mau kalah dengan mengusap kecil rambutku.
“Twinku sayang..nih buat kamu, happy sweetseventeen ya, cantik.” Kata mas Heru sok imut dengan mencubit hidungku. Langsung saja kubuka kotak dari kakakku itu. Kaos yang dulu belum sempat aku beli ketika berlibur di kota Gudeg, beberapa minggu yang lalu, ternyata diam-diam dibeli mas Heru untukku. Aku memang jatuh cinta dengan kaos bergambar babi milo ini.
Aku sama sekali belum berucap. Hanya senyum, setengah terharu. Nanapun memelukku dengan memberi sebungkus coklat kesukaanku yang dililit dengan pita cantik.
“Tambah dewasa ya, Ray.”
Setelah mengambil nafas aku berkata, “Makasih semua.. Raya nggak nyangka.”
Kemudian ku pukul-pukul mas Heru. Tega sekali dia meninggalkan adiknya ini berjam-jam tanpa kabar.
“Hahaaa.. rasain, lagian manja amat suruh antar jemput.”
“Eh, siapa yang nyuruh? Orang twin sendiri kan yang minta?!” bantahku.
“Udah.. udah.. kan ada Awan, biar kamu bisa pulang bareng Awan.. heehhee.” Nana ikut membela mas Heru.
Awan. Ups. Dia masih di belakangku dari tadi. Aku membalikkan badan dan sekuntum mawar merah segar ia berikan padaku.
“Happy birthday, Rayaku sayang.. luv u.”
“Makasih, Awanku.”
Tak sadar keluarga kecil ini melihatku.
“Cie.. cie.. Ehemm.. ayoo tiup lilin dulu sini, sayang.” Ajakan Bunda mencairkan suasana yang membuatku malu.
Fyuh!! Lilin itupun mati. Itu pula lilin terakhir yang aku tiup di tengah keluarga hangat seperti itu. Padamnya lilin itu seolah pertanda padamnya semua kehangatan yang berlalu.
Aku sadar dari lamunanku.
02:37
Angka itu yang ditampilkan jam kodok di kamarku. Dulu biasanya mas Heru membangunkanku jam-jam segini untuk mengajakku sholat tahajud. Sudah dua tahun pula, aku melangkah menuju tempat wudlu tanpa mas Heru. ku kenakan mukenaku.
“Allahu…..” belum sempat aku melanjutkan takbirku rasanya aku tak kuasa melanjutkannya. Aku menangis, mengingat kejadian di kala Bunda ciuman dengan atasannya di depan rumah yang berpuluh tahun kami diami. Bunda yang berbeda.. sangat berbeda dari Bunda yang aku kenal dulu. Bunda berubah sejak warung makan kami terbakar, warung itulah yang menjadi poros perekonomian keluarga kami, bengkelpun sudah hampir ditutup karena sepi dan pegawai Ayah yang sudah membuka bengkel sendiri-sendiri. Ayah tak pernah mengutak- atik tabungannya yang sudah ia nadzarkan untuk pergi naik haji, dulu Ayah sudah mendaftarkan dirinya bersama Bunda untuk menunaikan ibadah di tanah suci. Beberapa tahun lagi harusnya mereka naik haji. Mobil Fortuner kesayangan Ayah sudah dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup kami, serta dana kasih untuk keluarga seorang pekerja warung makan Ayah yang meninggal saat kebakaran terjadi. Dan itulah yang menyebabkan Bunda tak pernah diantar- jemput Ayah, tetapi om Wedha, atasan Bunda, hingga perselingkuhan itu terkuak. Bukan hanya aku saja yang melihat kedua sejoli paruh baya itu bemesraan, berpelukan, dan berciuman. Mas Heru yang sedang menyelesaikan tugas membuat nirmana dwi matra di rumah teman kampusnya, mas Ardi. Anak dari seorang pemilik hotel ternama memberitahukan keberadaan bunda dengan om Wedha di hotel ayahnya kurang lebih 3 hari ini. Tanpa pertimbangan apapun, mas Heru meminta mas Ardi menemani ke hotel ayahnya itu. Dengan perasaan kacau pula mas Heru menuju kamar hotel bernomor 551 dengan kunci duplikat dari hotel. Petugas resepsionis tak ada perlawanan berarti saat mas Heru meminta paksa kunci duplikat itu karena dia bersama anak pemilik hotel itu. Dengan segera ia buka pintu itu dan….
“Astaghfirullahaladzim, Bunda!!!!”
Mas Ardi sengaja membiarkan mas Heru masuk kamar itu sendirian karena ia merasa bukan wewenangnya. Mas Heru benar-benar emosi melihat bunda tanpa sehelai pakaianpun bercumbu mesra dengan om Wedha.
Sejak kejadian itu mas Heru tak pernah pulang. Dia pergi seminggu sebelum pengumuman SPMBku tiba. Miris. Aku ingin sekali mas Heru melihat hasilku, aku ingin mas Heru tahu kalau aku menepati janjiku menyusulnya. Tapi sia-sia, pihak kampus ternyata juga mencatat mas Heru sudah membolos kurang lebih dua mingguan. Nana, tak tahu menahu sama sekali. Sahabatku itu juga ditinggalkan mas Heru begitu saja. Sekarang ini aku sudah semester tiga, ketika mendaftar dulu aku urungkan niatku masuk kedokteran, melihat kondisi keluargaku seperti itu, keuangan yang tak semulus dulu, dan entah apakah orang tuaku masih mengharapkanku masuk ke jurusan itu. Aku diterima di pilihan pertamaku jurusan Psikologi, karena dengan keadaan seperti ini aku ingin paham dengan tingkah laku manusia-manusia yang membuatku kalut belakangan ini. Setidaknya di universitas tempat mas Heru kuliah jurusan Psikologi masuk di pilihan anak IPA dan masih di bawah fakultas Kedokteran. Setidaknya, masih ada nama itu. Kedokteran.
Ku coba lagi takbirku yang kedua.
“Allahu…” kali ini berbeda. Aku tak sanggup ketika menyadari kekufuranku, aku jarang sekali bersyukur ketika keluargaku masih berkecukupan, ketika aku merasa benar-benar berada di tengah keluarga yang sempurna. Kini semua tinggal kenangan. Semuanya mudah sekali berubah seperti mudahnya memabalikkan telapak tangan. Ku fokuskan menghadap Rabbku. Ku mulai takbiratul ihram untuk tahajud malam ini.
“Allahu Akbar.”
***
Aku hanya bisa melihat sesosok makhluk itu dibalik pintu ruang ICU. Kondisinya kritis. Bunda terkapar tak berdaya setelah kecelakaan maut menimpa mobil yang ditumpanginya bersama om Wedha. Om Wedha tewas seketika saat truk tronton itu menindas mobilnya. Ayah sangat terpukul, ayahku yang bijak hilang, menjadi ayah yang cepat naik darah, dan kini sosoknya semakin berbeda denagn lebih banyak diam dalam tatapan kosong. Semua sudah berusaha mencari mas Heru agar dia pulang, aku juga sudah berpesan kepada mas Ardi kalu dia bertemu twinku itu sampaikan bahwa kondisi Bunda kritis. Aku yakin benar mas Ardi tahu keberadaan kakakku. Dua hari Bunda koma dan Mas Heru sama sekali tak menampakkan batang hidungnya.betapa bahagianya aku saat Bunda sadar, Bunda yang secara tidak sadar sering menyakitiku, aku bahagia dengan harapan Bundaku kembali seperti dahulu. Dia meminta maaf padaku, pada Ayah yang hanya terpaku, lantas dia memintaku menggantikannya naik haji tahun depan. Betapa terpukulnya aku.
“Bunda, bunda besok yang berangkat haji bareng Ayah bukan aku, iya kan, Yah?” kataku dengan airmata yang turun seperti air terjun, sudah kucoba menahan tapi seolah tanggul airmataku sudah jebol.
“Bun.. da.. tidak di.. i..jin..kan.. All..ah, Raya.. bunda su..dah.. ter..laalu.. ba..nyak doo..sa..” dengan tertatih Bunda mencoba berbicara.
Aku tak sanggup bicara lagi. Nafas bunda semakin terpenggal. Hingga ia berkata.
“Ma..af He..ru.., Bun..da.. sa..yang.. Heru.”
Kalimat ini yang diucapkan Bunda terakhir di hidupnya. Bunda meninggal di usianya yang ke-48 tahun. Aku menangis sejadi-jadinya. Kulihat wajah Ayah, pipinya penuh airmata melebihiku, namun Ayah tak bersuara.
Nampaknya pemakaman Bundapun tak sampai ke telinga mas Heru, entah tak sampai atau mas Heru yang menutup telinga akan berita ini. Aku tahu sakit hati yang dirasakan mas Heru karena aku paham dia dekat dengan Bunda, dia yang selalu mendapat nasehat dari Bunda untuk menghormati wanita, untuk tidak bermain api dalam suatu hubungan. Tapi dia malah melihat itu semua dari orang yang pernah menasehatinya. Menyakitkan, tapi bukankah Dia tetap yang melahirkanmu, Twin. Coba saja kau mendengar kalimat terakhir yang diucapnya sebelum ajal menjemputnya.
***
Tiga tahun kemudian
Sepulangku dari tanah suci untuk menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslim sekaligus melaksanakan amanah dari Bunda, aku memutuskan pergi ke pantai. Aku minta tolong Nana untuk mengantarku ke salah satu pantai di selatan Pulau Jawa. Sebelum berangkat aku mencium tangan ayahku, beliau berpesan pada Nana untuk hati-hati. Subhanallah, sudah cukup lama Ayahku kembali, bahkan jauh lebih baik dari Ayahku yang dahulu, sejak ia benar-benar mempersiapkan keberangkatannya menuju tanah suci. Dia sering mengajariku untuk tidak membenci Bunda atau mas Heru, tapi mendoakan mereka.
Pantai ini adalah pantai kesukaan Bunda, saat aku merindukan masakannya, merindukan belaiannya, kasih sayangnya, aku selalu kesini untuk sekedar melihat ombak menari. Suara angin dan ombak yang benar-benar menjadi penentram hati. Seperti biasa, kusuruh Nana untuk meninggalkanku sendiri dan jika waktunya tiba, dia akan menjemputku lagi. Dia pergi dengan kekasihnya. Ku ketahui Nana sudah mempunyai kekasih lagi dan tahukah siapa dia?
Awan. Yah..dia adalah kekasih baru Nana, sempat terkejut memang, karena selama keluargaku bermasalah, Awan tiba-tiba menghilang. Tak ada nomor yang bisa aku hubungi, sampai aku tahu bahwa dia sudah bersama Nana, sahabatku sendiri. Sampai sekarang sebenarnya belum pernah aku mendengar kata putus darinya langsung atau tidak langsung. Ayahpun sudah tahu akan hal ini. Dia akhirnya membuatku bangga lagi, aku banyak belajar darinya. Ayah memintaku untuk bersabar dan ikhlas. Karena ini semua hanya sedikit cobaan dari Tuhan. Toh, aku sudah menemukan cinta sejatiku, sejak aku melihat tanah suci. Dialah cinta sejatiku Rabb penguasa semesta.
Angin yang lembut mengibarkan sedikit ujung jilbabku, sejak kepulanganku pula dari rumah Allah yang penuh keajaiban itu aku putuskan untuk memakai jilbab. Sedikit terbayang skripsiku. Hmm… ingin sekali aku kelak wisuda dengan kehadiran mas Heru. tapi sudahlah sudah lima tahun ini juga aku bisa melakukan hal-hal tanpa mas Heru. Lamunanku tersadar setelah sehelai kertas menampar mukaku. Betapa terkejutnya aku melihat sketsa gambar yang ada di dalam kertas itu. Aku kenal benar apa yang digambar di dalam sketsa ini. Gambarku, mas Heru, Ayah, dan Bunda, sedang berangkulan dipinggir pantai ini dengan senyum khas masing-masing. Yang paling aku ingat pula, ban air bentuk lumba-lumba yang melilit di perutku, sudah lama aku tidak meliha foto ini di tempat foto-fotoku, nampaknya aku tahu siapa yang membawanya. Ku cari di setiap sudut pantai darimana kertas ini berasal, atau mungkin memang malaikat yang menurunkan ini padaku sebagai obat kangenku dengan Bunda dan mas Heru? Hingga aku menemukan banyak kertas di sekitar pemuda berbadan kurus. Aku berharap itu mas Heru. Tapi aku tak yakin, mas Heru dulu tidak sekurus itu.
Kudekati pemuda itu. Dia sibuk membuat sketsa yang sama, dia buat seperfect mungkin. Kini aku benar-benar yakin itu mas Heru, meski wajahnya masih tersembunyi di atas kertas sketsa itu. Dari gerakan tangannya memainkan pensil gambar aku yakin dia kakak semata wayangku. Dia twinku.. twinku..
Ya Allah, hari inikah kau kabulkan doaku? Doa untuk bertemu mas Heru, saudaraku. Rasa rindu yang sudah menumpuk ini tak kuasa mengerem airmata yang terjatuh. Lima tahun aku tak bertemu, aku yakin twinku ini sejatinya merindukan keluarga kecilnya. Tubuhnya yang mengurus, semakin membuat hati ini pilu. Ku coba mengumpulkan tenaga untuk sekedar memanggil dia yang masih sibuk mencoret-coret kertas di pangkuannya.
“Twin..” panggilku lirih.
Tak ada reaksi. Kucoba lagi. Kali ini lebih keras.
“Twin..”
Pensil yang ia gunakan terhenti, namun kemudian ia mainkan lagi dan membiarkan pensil itu menari-nari. Aku sudah tak tahan lagi. Hasratku untuk langsung memeluk mas Heru tak bisa kubendung lagi. Saat itu juga aku memeluknya, tak ada reaksi. Kulepas pelukku kemudian menatapnya lama dengan pipi penuh airmata. Tatapanku terbalas, sorot matanya tak setajam dulu. Sayup sekali. Lama ia menatapku, mencoba mengenaliku yang sudah lima tahun tak bertemu, apalagi dengan aku yang memakai penutup kepala sebagai seorang muslimah. Namun dia tetap twinku, kembaranku yang memang menyadari aku adalah adik yang selama ini ia tinggalkan. Setelah yakin, mas Heru memelukku, erat sekali. Pelukannya selalu mengundang tangis di kelopak mataku.
“Rayaku.. adikku..twinku.. aku merindukanmu.”
Dibukanya tas eksport hitam merah milik mas Heru dari SMA, dia mengeluarkan bingkai besar berwarna biru dengan lumba-lumba di setiap sudutnya. Ia masukkan kertas sketsa itu ke dalam bingkai.
“Kita antar bingkai ini untuk Bunda, Twin.. Antar aku ke makamnya.”
Mas Heruku.. ini benar-benar mas Heruku. Tak henti aku mengucap syukur kepada Allah untuk hari ini. Setelah dari makam, ku pajang bingkai biru itu di meja foto-fotoku. Bingkai itu yang paling besar yang mendominasi bingkai-bingkai lain. Selalu aku pasang gambar-gambar perjalanan hidupku di meja ini. Dari aku lahir, sampai aku ke tanah suci beberapa waktu lalu. Selanjutnya aku ingin memasang fotok wisudaku menjadi sarjana psikologi bersama Ayah dan mas Heru sebagai persembahan untuk Bunda lagi. Amin.